PRASANGKA
“Oke bye~” Dinda melambaikan
tangannya pada Roy, teman lelaki yang berstatus tengah dekat dengannya akhir –
akhir ini. Mereka baru aja selesai makan roti bakar bareng deket rumah Dinda.
Katanya sih, sebagai ucapan terima kasih Dinda ke Roy karena udah mau nganterin
pulang ke rumahnya yang jauh banget dari kampus mereka.
Mungkin bagi beberapa orang yang
melihat mereka dekat sih ngga terlalu dipermasalahkan. Tapi, bagi Dinda, itu
suatu masalah karena degupan jantungnya akhir – akhir ini berdetak di atas
batas kenormalam kalau lagi dekat – dekat sama Roy.
Jatuh cinta?
Mungkin aja.
***
“Lo lagi deket ya Nda sama Roy?”
Dinda tertegun sesaat, pertanyaan Rara –salah satu teman dekatnya di kelas- menohok hati banget. Dikiranya
temannya yang satu ini ngga mempermasalahkan kedekatannya sama Roy seperti
teman – temannya yang lain. Tapi nyatanya?
Blak – blakkan banget ni
bocah nanyanya.
“Kelihatannya begitu ya?” Dinda
berusaha untuk menutupi keterjekutannya dengan masang tampang polosnya. Rara cuma ngangguk aja sebelum akhirnya dia bergulat
sama laptop Aulia yang lagi memplay
film Hunger Game kesukaannya.
“Ra, gue mau break sama Niko.” Rara mempause
film hunger gamenya. Kepalanya bergerak menghadap Dinda yang masang tampang
lesu.
“Kenapa?” tanyanya pelan sambil
menghadapkan tubuhnya ke Dinda.
“Gue capek, Ra. Skripsi dia ngga
selesai – selesai.” Rara merubah wajahnya jadi serius. Ini emang cuma masalah cowok, tapi ngeliat air muka Dinda
yang galau bikin dia gak tega untuk anggap masalah ini hal yang sepele.
“Coba ceritain ke gue lebih
detail.” Dinda menghirup oksigen sebanyak – banyaknya kemudian membuangnya
perlahan. Sekiranya dia udah tenang, mulailah dia bercerita tentang Niko,
pacarnya yang kuliah di Bandung.
“Dia seenaknya aja pulang – pergi
Jakarta – Bandung. Alasannya mau nyari buku buat referensi skripsinya di
perpustakaan nasional di Jakarta. Tapi apa? Setiap ke Jakarta pasti langsung
nongol di depan kampus kita. Gue tau sih dia berusaha nunjukkan kebaikan dan
perhatiannya ke gue, ya kayak bantuin gue ngerjain tugas. Tapi Ra, gue kan udah
gede. Udah mahasiswa! Masa masih diperlakukan kayak anak kecil gini?” dada
Dinda naik turun. Emosi menyelimutinya. Rara bantu meredakannya dengan mengusap
– usap lengan Dinda.
“Lo udah coba jelasin ke dia
tentang semua itu?”
“Belum. Lo tau ‘kan? Setiap gue
mau marah ke dia pasti dia buat sesuatu yang bikin gue seneng. Ya contohnya aja
ngebawain gue coklat atau buatin gue bekal. Tapi Ra, gue juga mau berbuat baik
ke dia. Gue mau kok nunggu dia sampai skripsinya selesai, bertahan sama dia walau
jarak Jakarta – Bandung dan kita sibuk sama urusan masing – masing. Tapi ‘kan—“
“Oke oke gue ngerti itu kok Nda.
Tapi ya mau gak mau lo harus omongin ini ke dia. Ngga bisa langsung minta break gitu aja.”
“Ehm iya. Nanti gue coba deh.”
Mereka saling terdiam. Tapi akhirnya Rara kembali menyibukkan dirinya dengan
film kesukaannya. Tapi, dia merasa agak resah liat gelagat Dinda yang sedari tadi liatin handphonenya terus.
“Sms-an sama Roy?”
“Eh?”
“Lo suka sama dia ya Nda?” Rara
ngomongnnya ngga langsung natap ke Dinda, tapi buat Dinda itu menohok hatinya
–lagi-. Temannya ini benar – benar ya.
“Kita cuma … teman dekat aja kok, hehe ...” Rara cuma pasang wajah datar aja nanggapin pengakuan
Dinda. Toh kalau dihubungkan sama keinginan Dinda untuk break sama Niko dan status mereka yang Long Distance Relationship, Rara udah tau jawaban sebenarnya.
***
“Ra, gue mau cerita.” Rara
menolehkan kepalanya ke samping. Ditatapnya wajah Anne sekilas sambil ngangguk
kecil.
“Ini tentang— Roy.” Rara cukup
terkejut dengar nama itu. Baru aja dia bahas itu cowok tadi sama Dinda. Eh
sekarang bahas cowok itu lagi sama Anne.
Berasa ada yang aneh deh, pikirnya.
“Kenapa?”
“Akhir – akhir ini dia sering sms
gue.” Anne ngutak – ngatik handphonenya
sebelum menyodorkannya ke Rara. Gadis berjilbab simple itu mandang layar handphone
Anne dengan tatapan horor.
“Dia nawarin ngejemput lo di
Stasiun Manggarai?” Anne ngangguk kecil sambil masukkin handphonenya ke dalam saku celananya. Tapi Rara ngga puas cuma dengan sekali anggukan aja.
“Selain itu?”
“Ya intinya kita sering sms-an
lah. Sama lo juga ‘kan?”
“Iya—“
—tapi ngga pernah sekali pun dia nawarin diri untuk jemput gue -_-,
lanjutnya dalam hati.
“Dia kayaknya suka sama lo deh.”
Celetuk Rara yang dijawab pelototan terkejut oleh Anne. Rara cuma bisa senyum miring. Ternyata perasaan anehnya
itu karena ini toh.
“Haha ... ngga mungkin.” Rara ngga
nanggepin, dia cuma diam aja sambil matanya melirik gelisah ke
berbagai arah.
Yang di otaknya sekarang cuma tiga nama: Dinda, Roy, dan Anne.
***
Pi, lo jujur sama gue sekarang, lo suka sama
siapa? Dinda atau Anne?
Rara mengutak – atik handphonenya sejak setengah jam lalu.
Dari tadi, dia sms papi – papiannya si Roy untuk nanya kejelasan perasaan Roy
ke dua temannya.
Buka blog gue deh. Lo baca satu cerita judulnya
Love Story terus nanti lo bisa tau siapa yang gue suka.
Rara mendengus membaca balasan itu
dari Roy. Papi gadungannya ini emang berotak jahil. Dia ikutan merasa
dipermainkan sama cowok ini.
Tapi, karena penasaran dan Rara
sayang banget sama dua temannya itu, jadi dia rela ngendap – ngendap nyuri
modem anak tertua ketiga di rumah itu untuk online
dan nge-blogging.
Setengah jam lewat dia ngutak –
atik isi dari blog Roy. Ketemu sih ceritanya, tapi dia ngga ngerti.
Gue pake inisial doang. Itu bukan nama sebenarnya.
Rara mendengus lagi. Dia makin
ngga ngerti sama papi gadungannya itu.
Apasih? Inisial?? Ayolah jelasin ke gue !!
Lamaaaa banget Rara nunggu balesan
dari Roy, tengah malam dia baru ngerti.
Misal, nama asli lo ‘kan Rara. Nah gue cuma ngambil huruf R-nya doang. Nanti selanjutnya
gue ubah jadi Rani, gitu.
Shock.
Mungkin itu gambaran kondisi Rara
sekarang. Ternyata oh ternyata papi gadungannya itu suka sama Anngia yang berperan jadi
Anne dicerita itu. Terus Dindanya ??
Gue cuma mau menjalin hubungan persahabatan aja.
Ngga lebih.
Rara mengutuk dan menyumpah
serapahi balasan pesan singkat dari Roy. Apa katanya? Menjalin hubungan
persahabatan? Sampai nganterin Dinda pulang ke rumah, gitu?
***
“Gue udah break Ra sama Niko.” Rara mengelus punggung sahabatnya lembut.
Mencoba memberi kekuatan. Walau perempuan berjilbab unik itu tidak menunjukkan
air wajah yang mendung, tapi Rara tau kalau sahabatnya itu tengah bersedih.
“Ra, lo tau soal Anne sama Roy?”
“Eh?”
“Anne bilang sama gue kalau Roy
semalem baru aja bilang suka ke dia.” Rara tertegun. Pikirannya ngga fokus. Dia
ngga tahu mesti nanggepin kayak gimana ucapan Dinda.
“Tapi Ra, gue sama Roy udah
janjian ketemuan di taman belakang kampus.”
“Eh?”
“Duluan ya.” Rara menatap bingung
kepergian Dinda. Apa maksudnya? Rara ngga ngerti. Alurnya kenapa jadi berantakan kayak begini??
“Ra, mau nyusul Dinda ngga?” Rara
mendongak, didapatinya Aulia berdiri manis di depannya, “Anne udah sering
cerita soal ini ke gue. Dan gue rasa, akan ada air mata setelah ini.” Kepala
Rara mendadak pusing. Aulia ini emang terkenal paling puitis diantara dua
sahabatnya-Dinda dan Anne- yang lain. Tapi, ngomong – ngomong soal puitis, Rara
sangat setuju dan ngga nganggep kalimat puitis itu masuk ke majas hiperbola.
“Ayo.”
***
“Udah lama Roy?” lelaki berkaca
mata dengan tinggi lebih dari 170 cm itu mendongak menatap Dinda yang tengah
berjalan menghampirinya. Ia hanya menggeleng sebagai jawaban kemudian menepuk
tempat kosong di sebelahnya. Menyuruh Dinda duduk di sana.
“Diterima pernyataan cintanya sama
Anne?”
“HAH?” Roy terkejut tapi Dinda
justru tertawa. Tawa yang dipaksakan tapi tidak cukup membuat Roy menyadari
bahwa ada kesedihan yang tersembunyi di balik tawa itu.
“Alah ngga usah kaget gitu deh.
Cie yang baru jadian. PJ-nya bisa kali.”
“Apanya yang jadian. Gue ditolak
sih iya.” Dinda langsung terdiam. Air mukanya langsung berubah sendu dan merasa
bersalah.
“Sorry.”
“Ngga apa kok. Santai aja. Btw, lo
ngajak ketemuan di sini ngapain dah? Di kelas ‘kan kita juga ketemu, hehe ...”
“Gue suka sama lo, Roy.”
“Eh?”
“Bercanda. Haha ...” Dinda tertawa
terpaksa –lagi- tapi kali ini cukup membuat Roy peka bahwa ada raungan tangis
di balik tawa itu.
“Sorry Din. Gue—“
“Santai aja lagi, hehe ...”
Tidak. Roy benci itu. Dia benci
melihat seorang wanita menangis di haadapannya. Ditambah ini karenanya.
“Din—“
“Enak ya jadi Anne disukai banyak
cowok. Bikin iri aja, hehe ...”
“....”
“Ah udah ngga apa – apa. Gue
pulang duluan yak.” Dinda beranjak dari tempatnya. Senyum pilu yang berusaha
ditutupinya tetap bisa terbaca oleh Roy. Tapi cowok itu bisa apa? Kalau dia
mencegah Dinda untuk pergi, justru akan menambah luka Dinda semakin lebar.
“Sorry.” Lirihnya lagi.
***
Rara cuma bisa meluk Dinda. Aulia di sampingnya cuma bisa diam aja. Mereka ngga berkomentar apa –
apa. Mereka cuma bisa diam sambil sesekali tangan mereka
bergerak mengusap punggung Dinda. Bahkan Rara ngga peduli sama baju
kesayangannya yang basah karena air mata Dinda.
Hampir satu jam berlalu, akhirnya
tangisnya Dinda reda. Masih dalam keadaan mulut mengatup rapat, mereka keluar
dari kamar mandi untuk pulang.
Sebenarnya, Rara bisa aja nonjok
Roy, karena bisa dibilang dia udah mempermainkan
perasaan dua temannya. Tapi, ngga sepenuhnya ini salah Roy. Terkadang, hati
manusia ‘kan bisa keluar dari jalur seharusnya. Prasangka tiap manusia
‘kan berbeda – beda. Mungkin aja Roy emang cuma mau menjalin persahabatan sama Dinda, Anne,
Rara, dan Aulia. Tapi dari anggapan ‘menjalin persahabatan’ itu bisa juga
tercampur virus bernama cinta. Ya namanya juga prasangka, terkadang tepat terkadang
ngga.
Untuk
kasus Dinda, Rara bisa ambil pelajaran, boleh menjalin hubungan persahabatan
sama siapa aja asal ada batasnya. Sebaiknya sih untuk yang cowok jangan asal
nawarin diri untuk antar atau jemput seorang cewek kalau ngga mau ada hal
serius ke cewek itu. Dan para kaum Adam harusnya bisa tau kalau hati cewek itu
lebih sensitive ketimbang cowok yang lebih suka berpikir pakai logika.
END
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus:) Menarik ceritanya
BalasHapus