Senin, 18 Maret 2013

PENS KONDEKTUR



PENS KONDEKTUR

Bak buk bak buk

Terdengar suara gaduh diselingi helaan napas pelan dari dua ruangan di sebuah rumah di kawasan Jakarta Pusat pagi itu. Helaan napas itu terdengar dari ruang dapur. Seorang wanita paruh baya menghela napasnya berkali – kali setiap mendengar bunyi ‘bak buk bak buk’ dari salah satu kamar di rumah itu.

“Rara, jangan berlari di dalam rumah!” Teriaknya sambil mengecilkan api dari kompor gasnya yang menyala.

“Aduh Ma, sepatu Rara dimana ya? Kok dirak sepatu di dekat pintu ngga ada ya?” bukannya menghentikan aktifitas ‘ayo lari di dalam rumah’nya, Rara malah menanyakan perihal sepatunya yang tiba – tiba tidak terlihat wujudnya.

“Makanya kalau libur itu jangan wasting time sama Renren terus, periksa kelengkapan barang – barang kamu.” Rara mendengus sebal, jawaban yang berupa ceramah singkat itu semakin menurunkan moodnya untuk semangat pergi kuliah pagi itu.

Udah kecape’an, semalam kurang tidur, alarm ngga bunyi, bangun telat, eh sekarang diceramahin Mama lagi -_-, gerutunya dalam hati sambil membenahi keperluannya untuk kuliah pagi ini.

“Udah ntar Mama bantu nyari, sekarang makan dulu gih.” Rara menggeleng, disambarnya dua tangkup roti tawar yang baru diolesi mentega itu lalu mengambil asal flat shoes miliknya kemudian berteriak pamitan pergi menuju kampus tercinta.

Buk

“Aw! Yak! Kak Rara!!!”

“Sorry.” teriaknya lantang setelah sukses menabrak adik bungsunya di depan pagar.

***

Rara menghentakkan kakinya kesal. Pasalnya, bus transjakarta yang menjadi kendaraan antar – jemputnya ke kampus belum terlihat semenjak sepuluh menit yang lalu. Parahnya, perjalanannya dari halte ke kampusnya memakan waktu kurang lebih tiga puluh menit.

07.30

Mati gue, setengah jam lagi kelas dosen gila itu dimulai. Arrghh ... cepet dateng dong bus-nya.

Mulutnya mengerucut lucu, sesekali matanya bergerak melirik jarum – jarum tajam yang bergerak perlahan di dalam lingkaran jam tangannya.

Pes

Matanya langsung berbinar senang, kakinya sudah mulai melangkah maju lebih ke depan ketika bus yang telah lama ditunggunya kini berhenti tepat di hadapannya.

Pintu bergerak terbuka, beberapa orang dari dalam bus keluar. Setelahnya, Rara mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam bus, tapi—

Deg deg deg

Ya Allah, ini beneran kondekturnya? Ganteng bangeeeeettttttt !!!!

—Rara berdiam dalam posisi satu kaki masuk ke dalam bus dan satu lagi tertahan di pintu halte. Matanya berkilauan melihat seorang lelaki tinggi semampai dengan kulit putih yang wajahnya mirip VJ Daniel Mananta dengan rambut cepak pendek ditutupi oleh topi hitam dari perusahaan bus transakarta.

“Mbak jangan halangin jalan dong!” kilauan mata Rara berubah tajam. Mas – mas tua di belakangnya memaksanya untuk menghentikan kegiatan menatap kondektur ganteng bus transjakarta di depannya. Ia mendengus sebal sebelum akhirnya duduk di salah satu kursi di bagian bus khusus wanita.

***

“Pemberhentian berikutnya, halte Matraman—“ Rara ngga peduli dengan suara – suara aneh dari seorang wanita yang ntah berasal dari mana itu. Yang dipikarannya saat ini adalah siapa nama kondektur ganteng itu? Kok bisa sih cowok seganteng dia kerja jadi kondektur bus? Berapa umurnya? Udah punya pacar atau belum?

Rara terus berfantasi, bahkan ia melupakan waktu yang sudah menunjukkan pukul 8 lewat lima belas menit itu. Yang ada di otaknya cuma si kondektur ganteng ini doang.

Drtt drrtt ...

Rara mendengus –ntah untuk yang keberapa kalinya-, pesan singkat yang masuk ke handphonenya mengganggunya.

Nida calling

“Hallo?”

“Ra, di mana? Dosennya udah dateng nih.”

“Di bus.”

“Siapin lagu yak. Yang telat disuruh nyanyi.”

“HAH? Eh—maaf – maaf.” Rara membungkukkan sedikit badannya beberapa kali pada beberapa penumpang bus transjakarta yang menatap aneh terhadapnya. Kembali merutuki dirinya karena telah berbuat hal bodoh.

“Gak usah teriak gitu. Udah siapin aja satu lagu, okay?”

“Eh gila, lagu apaan?”

“Lagu korea aja, ah udah ya. Bye.”

“H-hei. Aish ..” Rara memasukkan kembali handphonenya ke dalam tas. Sekarang otaknya sedang memutar beberapa lirik lagu yang sekiranya bisa ia nyanyikan nanti di depan kelas.

“Dam, sampai TU Gas aja ya.”

“Siap bos.”

Fokus Rara langsung buyar, tergantikan dengan wajah Mas Kondektur ganteng yang sedang berdiri di dekat pintu bus. Senyumnya langsung mengembang, semakin lebar dan mungkin deretan gigi yang tidak terlalu rapi miliknya terlihat.

ADAM

Oh.

Namanya Adam, ya?

“Pemberhentian selanjutnya, halte—“ Rara langsung beranjak dari tempat duduknya. Berjalan perlahan mendekat pada Adam. Matanya masih tak lepas dari nametag Adam kw VJ Daniel Mananta ini. Ingin sekali ia menyampirkan nametag lelaki di depannya ini untuk mengetahui nama panjangnya dengan jelas.

Kali aja nanti pas gue search facebook sama twitternya di google eh ketemu gitu, pikirnya dalam hati.

Kreek

Pintu bus terbuka, mengharuskannya berpisah dengan Adam dan menghadapi satu kesialan lain, menyanyi di depan kelas.

Tapi, senyum Rara tak pudar ketika mengingat hal itu. Bahkan menurutnya alarm—yang selalu ia pasang untuk membangunkannya- yang tidak kedengaran itu adalah suatu anugerah baginya.

“Bisa aja ‘kan justru kalau gue bangunnya kepagian eh malah ngga ketemu sama Mas Adam si kondektur ganteng itu?” ujarnya pada tiga temannya setelah mata kuliah Pendidikan Agama Islam selesai.

Nida, Dinda, dan Anne hanya mengangguk – angguk. Terkesan cuek walau mereka sempat mengatai Rara “GILA!!” karena terpesona oleh seorang kondektur bus transjakarta pada pandangan pertama.

“Oh Mas Adam, mulai detik ini, aku adalah pens muuuuuu ...” serunya riang sambil berputar – putar ngga jelas dengan mata terpejam dan tangan yang direntangkan.

Tak peduli dengan tatapan aneh penghuni kampus siang itu dan cibiran “gak kenal gak kenal” dari tiga temannya.

END


Artikel Terkait:

1 komentar: