Minggu, 24 Maret 2013

Peran Bapak dalam Islam


Ayah dan ibu mutlak memiliki peran penting dalam keluarga. Ayah dan ibu juga memiliki peran yang berbeda karena memiliki wilayah masing – masing. Ibu sebagai madrasah awal bagi anak – anaknya maka peran ibu mulai dari dalam kandungan hingga umur 5 tahun, sedangkan ayah memiliki peran memberikan pendidikan serta nafkah yang halal bagi anak – anaknya.

Rasulullah bersabda, setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kepemimpinan akan dimintai pertanggungjawabannya dihadapan Allah kelak. Didalam syariat islam kedudukan seorang ayah sangat penting dan mulia. Dalam hadist tersebut jelas tugas seorang ayah adalah memimpin istri, anak, dan siapa saja yang tinggal dirumahnya. Karena itu, laki - laki yg diklaim sebagai ayah kelak dimintai pertanggungawabanya oleh Allah swt.

Seorang ayah dalam islam bukan hanya berperan sebagai seorang yang diamanahkan untuk membesarkan anaknya saja, tapi ayah diharuskan membentuk anaknya menjadi generasi – generasi islam yang saleh. Karenanya, anak merupakan perhiasan. Dikatakan perhiasan karena anaknyalah yang nanti akan bersaksi dihadapan Allah atas apa yang telah diajarkan seorang ayah pada anaknya. Jadi para ayah tak risau sebab karena anaknya yang insya Allah akan menyelamatkannya karena telah menjadi generasi islam yang saleh.

Dua hal yang harus dilakukan seorang ayah agar anaknya bisa menjadi generasi islam yang saleh yakni:
1.     Memberikan pelajaran tentang pendidikan akhlaq.
Akhlaq seorang anak adalah cerminan akhlaq ibu bapaknya. Imam Al – Ghazali mengatakan dalam sebuah kitabnya, jika seorang anak mempunyai akhlaq yang baik maka sejahteralah hidupnya dunia akhirat. Tapi jika mempunyai akhlaq yang buruk, tidak dipedulikan sebagai mana hewan, maka ia akan hancr dan binasa.

Jika seorang ayah tidak bisa mendidik akhlaq anaknya maka sudah diwajibkan baginya untuk mencarikan sebuah lembaga yang dapat mendidik dan membentuk akhlaq anaknya dengan baik, karena misi dakwah silam kedepannya berada dipundak anak – anak yang mulia.

2.     Pembentukan dalam bidang berpikir.
Berpikir itu penting karena generasi islam yang saleh adalah mereka yang mempunyai kemampuan berpikir yang briliyan. Kemampuan berpikir berupaya untuk berkretifitas, imajinasi, berwawasan luas, penguatan daya ingat, kemampuan analisis, dan kemampuan mengenal yang menciptakan-Nya. Dari sinilah ayah mengenalkan Allah kepada anak – anaknya.


Rasulullah pernah berpesan, muliakanlah anak – anak mu dan baguskanlah akhlaqnya. Setelah membentuk akhlaq yang baik, maka tugas selanjutnya seorang ayah adalah dengan menjaga si anak dari lingkungan yang negatif. Jika tidak dijaga, akhlaq yang selama ini sudah terbentuk pada si anak dan otak yang telah bisa berpikir briliyan akan sia – sia saja. Anak yang sudah terintimidasi oleh lingkungan negatif maka sudah tidak bisa dibanggakan. Oleh karena itu menjaga lingkungan anak begitu penting. Tidak bisa dipungkiri bahwa hal yang bisa merusak pendidikan akhlaq mereka adalah lingkungan luar yang tidak baik.

Dalam hadist yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim yang shahih dikatakan bahwa Rasulullah mempunyai perumpamaan untuk teman yang saleh dan teman yang buruk seperti seorang yang membawa minyak wangi dengan tukang pandai besi. Bila kamu berteman dengan seorang yang membawa minyak wangi itu boleh jadi kamu akan memberi atau menerima atau terkena cipratan wewangiannya. Sedangkan tukang pandai besi boleh jadi akan membakar pakaianmu atau engkau akan mendapatkan bau busuknya. Artinya yang ayah diwajibkan untuk mengenalkan komunitas yang mampu untuk menjaga kebaikan akhlaq sang anak agar pendidikan akhlaq yang telah tertanam pada si anak tidak terpengaruh hal negatif dan berakhir sia – sia. Baiknya juga ayah mengontrol pergaulan anaknya ketika berada di luar rumah.

Menjadi seorang ayah menuntut pendidikan iman yang tinggi oleh Allah swt. Seperti kisah Nabi Ibrahim dan anaknya, Nabi Ismail saat peristiwa dimana Allah memerintahkan kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih Nabi Ismail. Dimana akhirnya Nabi Ismail lah yang menyetujui perintah Allah tersebut dan menguatkan iman sang ayah. Meski dalam perjalanan menuju tempat penyembelihan mereka diganggu oleh syetan tapi iman mereka tidak goyah. Bahkan mereka menimpuki syetan yang menggoda mereka dengan bebatuan.

Dari kisah tersebut bisa kita petik dua hal yang menjadi pelajaran untuk kita. Pertama, sebagai seorang mukmin yang mengaku beriman kepada Allah tak mungkin Allah tidak menguji hamba-Nya untuk membuktikan seberapa tinggi iman orang tersebut. Dan untuk mempertahankan keimanan tersebut. Sebagai pemimpin keluarga, Nabi Ibrahim harus menjaga keimanannya dan menularkannya kepada anggota keluarganya.

Kedua, sikap anak kepada kecintaannya kepada Allah swt. Dari cerita tersebut, Nabi Ismail merelakan dan meyakinkan ayahnya jika apa yang telah diperintahkan oleh merupakan hal yang wajib dilakukan. Bahkan Nabi Ismail mendukung untuk segera melaksanakan perintah Allah tersebut. Hal ini membuktikan bahwa Nabi Ismail sebagai anak melihat Nabi Ibrahim sebagai ayah yang bisa dipercaya. Ismail percaya bahwa Ismail membawa risalah dari Allah dan ia juga percaya bahwa ayahnya lah yang harus melakukan mimpi itu. Ia pun percaya bahwa ayahnya harus melakukan perintah itu.

Dalam kisah Nabi Nuh dikatakan bahwa pada zaman itu adalah zaman dimana kekafiran merajalela. Penyembahan berhala dan pengingkaran ayat – ayat Allah terjadi. Nabi Nuh membuat perahu atas petunjuk dari Allah dan menyerukan pada kaumnya untuk bertaubat termasuk istri dan anaknya. Namun mereka tidak mau bertaubat, justru mengolok – ngoloknya. Dan ketika banjir besar datang mereka semua mati bergitupun anak dan istri Nabi Nuh. Begitulah akibatnya bila tidak menurut dengan suami dan ayah.

Rasulullah saw menyayangi anak – anak. Baik kepada keturunan sendiri maupun anak orang lain. Abu Hurairah r.a pernah meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah mencium Hasan bin Ali dan di dekatnya ada Al – Aqro bin Hais As’amini sedang duduk. Ia kemudian berkata, “aku mempunyai sepuluh orang anak dan tak pernah sekalipun aku menciumnya.” Rasulullah memandangnya kemudian berkata, “barang siapa yang tidak mengasihi maka dia tidak akan dikasihi.” Diriwayatkan dalam hadist shahih Bukhari dalam kitab Adam hadist nomor 5544, dijelaskan seorang sahabat rasul Samah bin Zaid ketika masih kecil punya kenangan manis didudukkan di pangkuan Rasulullah saw, “Rasulullah saw pernah mendudukkan ku di atas pahanya dan meletakkan Hasan cucu Rasulullah di atas pahanya yang lain. Kemudian memeluk kami berdua dan berkata, “ya Allah kasihinilah keduanya karena sesungguhnya aku mengasihi keduanya.”

Begitulah  salah satu contoh dari Rasulullah bersikap kepada anak – anak. Secara halus beliau mengajarkan kita untuk memperhatikan anak – anak. Beliau juga mempraktekan kasih sayang terhadap anak dengan penuh cinta, kasih, dan lemah lembut. Maka dari itu, apapun sikap yang bertolak belakang dengan yang dicontohkan Rasulullah merupakan bentuk kejahatan terhadap anak.

Contoh kejahatan orangtua terhadap anak diantaranya memaki dan menghina anak. Orangtua dikatakan menghina anaknya bila memaparkan kejelekan dan kekurangan anaknya. Lebih jahat lagi bila kejelekan tersebut dipaparkan detail di depan teman – teman si anak. Apalagi dengan memberikan nama atau sebutan yang jelek terhadap si anak. Rasulullah saw pernah mengganti nama beberapa anak ketika menemukan nama seorang anak dengan panggilan buruk.

Pilih kasih juga merupakan bentuk kejahatan terhadap anak. Memberi lebih pada anak kesayangan dan mengabaikan anak yang lain merupakan akar dari pertengkaran antar saudara. Hal ini juga sebagai pemicu putus hubungannya silaturahmi anak terhadapa orangtuanya. Pada hadist shahis Nu’man bin Ba’syir bercerita bahwa, “ayahku menimpakan sebagian hartanya untukku. Ibuku, Abrah binti Warahah tidak menyutujuinya dan pergi menemui Rasulullah. Kemudian ayahku menyusulnya sebagai saksi atas sedekah yang diberikan kepadaku. Kemudian Rasulullah bertanya, “apakah engkau melakukan hal ini kepada seluruh anak – anak mu?”. Ayah ku menjawab, “tidak”. Kemudian Rasulullah berkata, “bertakwalah kepada Allah da berlakulah adil kepada anak – anak mu.” Ayah ku kemudian kembali dan menarik kembali sedekah itu.”

Puncak kezhaliman orang tua terhadap anak adalah ketika tidak menunjukkan rasa cinta kepada anak perempuannya yang kurang cantik, kurang pantai, atau cacad salah satu anggota tubuhnya. Astaghfirullah. Semoga kita bukan termasuk golongan yang bertolak belakang dengan apa yang dicontohkan Rasulullah.

Nah, untuk para pembaca terkhusus pada kamu yang sudah menyandang status Ayah, sudahkah mencontoh sikap Rasulullah yang penyayang terhadap anak - anak ?? Sudahkah melaksanakan kewajiban mengajarkan akhlaq yang baik dan menanamkan pikiran yang briliyan kepada anak - anak kamu semua? Kalau belum, ayo mulai sekarang dilatih untuk menunjukkan kasih sayang itu dengan baik. Ingat loh bahwa seorang aayah adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah swt kelak. Anak pun akan bisa menjadi seorang penyelamat kedua orangtuanya di akhirat kelak jika orangtuanya telah menjadikan si anak menjadi anak yang shaleh/shalihah.

Semoga bacaan tersebut bermanfaat, maaf bila terjadi salah - salah kata. Wallahualam.

source: khazanah trans 7


Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar