Senin, 18 Maret 2013

CINTA DIAM – DIAM



CINTA DIAM – DIAM

Suara petikan gitar dan tabuhan drum terdengar di salah satu studio musik di kawasan Jakarta Timur siang itu. Hari ini, Rina, Ardi, dan Tama melatih kemampuan mereka dalam dunia musik untuk mengikuti sebuah lomba yang dinamakan Blue Fest di kampus mereka dalam memperingati acara tahunan Fakultas Teknik.

Rina begitu bersemangat latihan hari ini, suaranya mendadak terdengar merdu banget. Mungkin karena salah satu teman lelaki yang –ehem- disukainya itu datang untuk ikutan menyemangati Tik Band –nama grup band mereka- latihan.

Sudah dua lagu yang ia lakukan dan lagu ketiga yang tengah dinyanyikannya akan menjadi penutup latihan hari ini.

“Lombanya lusa, besok kita ngga usah latihan. Pas hari H-nya aja kita latihan lagi tapi cuma latihan ringan. Gimana?” usul Ardi sang gitaris pada dua temannya, Rina dan Tama.

“Gue setuju. Lagipula, Rina mesti jaga suara juga. Jangan makan yang digoreng yak. Minum air putih anget aja. Awas lu kalau ngelanggar terus kita kalah, lu traktir kita, hehe ...” ancam Tama sambil terkekeh diakhir ucapannya.

“Haha ... iya Tamagochi.”

Dan latihan hari itu ditutup dengan lambaian tangan dari Rina karena bis yang biasa ia gunakan untuk pulang telah datang setelah mereka selesai membayar biaya penyewaan studio musik itu.

***

Rina menuruti peringatan Tama. Ia berhenti makan makanan yang digoreng dan tidak minum minuman yang bersuhu dingin. Rina sekarang makan yang serba direbus dan dikukus ditambah minum air putih anget. Terasa aneh dan menyebalkan memang, tapi demi kemenangan grup band dadakannya, ia rela ngelakuinnya.

Ikhlas gue .. ikhlas ... hadiahnya lumayan sih, hehe ....

Tapi, Tama ngga ngelarang Rina buat jalan – jalan ‘kan? Ntah memang sudah takdirnya atau itu hanya kebetulan, pengumuman pemenang lomba band itu akan diumumkan tepat tanggal 25 Januari. Hari dan tanggal yang sama dengan ulang tahun sang tambatan hati, Chandra. So’ di hari Sabtu siang ini, dia ngintilin Mamanya ke Mall untuk nemenin Mamanya belanja sambil sesekali matanya melirik barang – barang yang dikiranya pantas untuk diberikan ke Chandra sebagai hadiah ulang tahun.

“Ma, kalau ngasih hadiah ultah ke cowok tuh bagusnya ngasih apa ya?” Rina bertanya dengan muka polos yang disengajain. Ntah untuk apa dia ngelakuin itu. Yuni, mamanya, cuma bisa geleng – geleng kepala liat tampang polos anaknya. Mungkin Rina ngga mau terlalu kentara mengutarakan tujuan kenapa dia nanya hal itu ke dirinya.

“Kasih aja kemeja atau kaus berkerah. Emang yang ultah siapa? Temen kampus?”

“Iya, kita mau ngasih dia kejutan gitu terus aku yang disuruh beli hadiahnya.” Rina masih bertahan dengan wajah polosnya. Padahal sih, Yuni udah tau getaran suara anaknya waktu cerita soal kejutan dan hadiah itu.

Dasar anak muda jaman sekarang, gumamnya.

“Mama tau dimana toko yang jual kemeja dan kaus berkerah yang murah tapi berkualitas. Yuk ikut!” Rina hanya ngangguk kecil sebagai jawaban. Kaki – kakinya terus melangkah mengitari Mall Thamrin City yang ngga bisa dibilang kecil itu.

Kira – kira lima menit kemudian, Rina dan Mamanya udah sampai di depan sebuah toko yang menjual khusus kemeja dan kaus berkerah buat cewek dan cowok seumurannya. Matanya berkilauan lihat pakaian – pakaian murah tapi bagus itu.

“Udah pilih aja. Mama tunggu di sini ya.” Rina ngangguk paham. Dia ngebiarin Mamanya ngobrol sama mbak – mbak yang punya toko itu. Dirinya udah asyik milih beberapa kaus berkerah dan kemeja yang sekiranya cocok untuk tubuh tegap Chandra.

“Ma, kerenan yang mana, ya?” tanyanya sambil menunjukkan satu kemeja berwarna biru muda dengan garis – garis vertikal tipis warna biru dongker dan satu kaus berkerah dengan warna merah marun ditambah motif kotak – kotak hitam putih di bagian kerah sampai ke dada.

“Yang merah marun aja.” Rina memperhatikan pilihan Mamanya. Sedetik kemudian kaus berkerah yang dipegangnya sudah dilipat rapi dan dimasukkan ke dalam kantung plastik bertuliskan nama toko tersebut.

“Makasih ya mbak.” Ucapnya riang setelah membayar dan menerima barang yang dibelinya.

“Udah sore nih, pulang yuk.” Ajak Mamanya yang disetujui Rina.

***

Rina menyamankan posisi mic-nya. Ini adalah hari dimana ia, Ardi, dan Tama mengeluarkan segenap kemampuan terakhir mereka untuk memukau para juri. Lombanya sih hari Minggu, tapi kampusnya ramai banget. Awalnya Rina santai, tapi melihat hampir 80% mahasiswa fakultasnya berkumpul di hadapannya itu membuat dia terpaksa merasakan yang namanya demam panggung. Ditambah lagi, Nia, Dina, Nanda, Lestari, dan teman kelasnya yang lain berteriak – teriak histeris menyerukan nama grup bandnya untuk memberinya semangat.

“Oke, langsung kita lihat aja perform dari peserta urutan kelima dari jurusan TIK, Tiiikk Baannnddd...”

“Aaaa .. Rinaaa ..”

“Tiiikk Baaannddd ....”

“Arddiiii ... Tamaaaa .....”

Petikan gitar Ardi mulai terdengar, disusul dengan tabuhan drum dari Tama. Rina memejamkan matanya untuk memasuki melodi yang mulai mengalun indah itu. Ia ingin grup band dadakannya ini menang. Hadiahnya lumayan sih, uang senilai 750 ribu plus sertifikat. Bukan sebuah prestasi yang menunjukkan kemampuan otak banget sih. Soalnya ‘kan siapa pun bisa mengikuti lomba kayak gini. Tapi, dia yakin akan perkataan Nanda kalau—

“—musik itu bisa menyampaikan segala perasaan yang ada di hati ke tiap orang yang mendengarnya.”

So’ dia menyanyi dengan penghayatan –yang menurutnya- bagus untuk lagu Cinta Dalam Hati-nya Ungu.

ku ingin kau tahu diriku di sini menanti dirimu
meski ku tunggu hingga ujung waktuku
dan berharap rasa ini kan abadi untuk selamanya
dan izinkan aku memeluk dirimu kali ini saja
tuk ucapkan selamat tinggal untuk selamanya
dan biarkan rasa ini bahagia untuk sekejap saja

Sebaris bait terakhir yang dinyanyikannya menutup perform grup bandnya siang itu. Senyum dan beberapa kali bungkukan badan mengiringi ucapan terima kasihnya pada semua mahasiswa yang menonton perform bandnya. Sekarang yang tinggal dilakukan dirinya dan dua teman bandnya adalah berdoa dan berdoa. Tapi khusus Rina, dia harus menguatkan mental lagi untuk pernyataan cintanya ke Chandra ... BESOK!

***

Senyum Rina terkembang. Tas ranselnya nampak berisi dan itu membuatnya senang. Ia juga sudah menyusun rapi rencana untuk pernyataan cintaya hari ini. Ya, semoga aja hasilnya memuaskan, batinnya.

Matahari sudah mulai bergerak semakin ke atas. Tapi, Rina, Ardi, Tama, Nanda, Sarah, Lestari, Dinda dan teman kelasnya yang lain tetap kukuh berdiri menjemur diri mereka untuk mendengar pengumuman pemenang lomba dari kategori Grup Band. Walau sudah ada beberapa dari mereka yang ngga tahan sama panasnya matahari tapi ngga menyurutkan semangat yang lainnya untuk menunggu nama band mereka disebut sebagai juara.

Tapi, Rina dengar dari Reta, salah satu teman sekelasnya yang jadi penanggung jawab lomba Grup Band itu bilang kalau pengumumannya masih lama. Kepotong shalat dzuhur mungkin, katanya. Dan kebetulannya Rina ngga ngeliat batang hidung Chandra dari tadi. Dia tau sih dia harus menghindari pertemuan dengan cowok itu karena rencananya dia dan beberapa teman sekelasnya mau ngasih kejutan ulang tahun ke Chandra. Tapi, kalau ngga sekarang, kapan lagi bilang ‘i love you’ ke Chandra? Apalagi dia dengar akhir – akhir ini Chandra tengah dekat sama cewek lain.

Kalau ditolak yaudahlah gak apa – apa. Yang penting ‘kan udah jujur, gumamnya kemudian pamit sama teman – temannya dengan alasan mau beli minum.

***

“Chan!” serunya sambil berlari ke arah cowok dengan mata agak sipit di bangku panjang taman belakang kampus. Setelah mengitari dan menanyakan beberapa temannya, Rina akhirnya menemukan Chandra duduk manis dengan laptop kesayangannya di taman belakang kampus sendirian. Catat dan garis bawahi! SENDIRIAN!

“Hai! Ciee yang lagi nungguin pengumuman lomba. Santai aja, lo pasti menang kok.” Rina Cuma senyum lima jari sambil ngangguk kecil. Didudukkannya tubuhnya di tempat kosong di sebelah Chandra.

Hening menjadi atmosfer mereka. Chandra sibuk dengan game yang tengah dimainkannya sedangkan Rina sibuk mengatur degupan jantungnya yang berdetak keras secara mendadak.

Gila, gugup banget gue.

“Eng Chan gue—“

“Ya?” Chandra masih sibuk main game tapi Rina tetap bertekad untuk bilang soal isi hatinya detik itu juga.

“Gue mau ngomong nih.” Rina mencengkram bangku kayu yang didudukinya. Detakan jantungnya makin ngga terkontrol.

“Ehm gue juga. Berita bahagia loh!” Rina mengerutkan alis gak ngerti, tapi ia berusaha menutupi ketidakmengertiannya itu dengan ngangguk mempersilahkan Chandra duluan yang cerita.

“Tapi sebelumnya gue minta maaf ya kalau pas datang tadi pagi gue malah langsung cabut ke sini. Ngga ikutan nunggu detik – detik pengumuman pemenang lombanya.” Rina tertegun. Dia juga baru sadar kalau dari tadi pagi emang Chandra ngga ada diantara kumpulan anak kelasnya. Dan satu hal yang dia baru sadar juga kalau—

“Gue sengaja ngelakuin itu untuk bawa Nia ke sini dan—nembak dia.” Ucapnya lirih namun cukup menusuk tepat di jantung Rina.

—Nia juga ngga ada diantara kumpulan anak kelasnya dari tadi pagi.

“Berita baiknya Nia nerima gue dan ternyata dia juga udah suka sama gue sejak lama.” Rina masih tertegun. Shock mungkin. Ntahlah, kalau ditanya, bagaimana perasaannya sekarang? Ia mungkin cuma bisa diam seribu bahasa.

“Rin, lo ngga apa – apa ‘kan?”

“Berarti gossipnya bener dong?” serunya tak sadar.

“Gossip apa?”

“Ah ngga. Maksud gue—“

“RINAAAAA .. KITA MENANG !! BAND KITA MENANG JUARA SATUUU ....” sontak Rina dan Chandra menoleh. Cukup terkejut dengan kehadiran Ardi dan Tama yang berlari ke arah mereka dan langsung menyeret Rina menjauh dari tempat itu.

“Kita menang Rin! Juara satu! Ya Allah gue ngga nyangka. Padahal ini belum kepotong dzuhur loh!” Ardi dan Tama mengoceh panjang lebar tapi Rina tetap menghadapkan kepalanya ke belakang. Melihat Chandra yang tersenyum lima jari padanya. Tapi kepalanya langsung dihadapkan ke depan ketika melihat Nia yang datang dari arah lain dan duduk di sebelah Chandra.

Hasil dari rencananya ngga sesuai harapan ya?, gumamnya sedih dalam hati.

***

Prosesi pemberian hadiah untuk pemenang berjalan cepat. Ntah Rina yang merasa itu memang cepat atau apa, intinya sekarang dia sekarang kembali berdiri dengan mic di tangan kanannya untuk menyanyikan sebuah lagu sebagai persembahan terakhirnya sebagai pemenang juara satu untuk Lomba Band itu.

Matanya menyapu kesegala arah. Memperhatikan satu – persatu wajah teman – temannya, para senior dan beberapa dosen yang kebetulan hadir untuk melihat acara itu. Ia menghela napas, menghilangkan segala kegusaran dihatinya. Atau mungkin mengusir rasa sakit yang tak tampak oleh mata telanjang tiap orang yang menatap kagum padanya saat ini. Sebenarnya ia ingin menangis meraung setelah mendengar pengakuan Chandra beberapa menit lalu, tapi berita kemenangan grup bandnya membuatnya harus bersikap profesional. Jadi, ia akan menyanyikan sebuah lagu untuk mereka yang bangga akan kemenangan bandnya dengan seyum lima jarinya.

“Lagu ini ku persembahkan untuk seseorang yang membuat hidup ku berwarna. Selamat mendengarkan.”

Tabuhan drum mulai terdengar, diikuti petikan gitar setelahnya. Rina mulai mencoba rileks dan masuk ke dalam lagu yang ia bawakan.

Mungkin kita pernah rasa tentang cinta,
Yang takdirnya bukan untuk kita
Mungkin ini adalah cara meluah cinta,
Tanpa berkata atau berpandang mata,

I’m sorry but i love you,
I’m sorry if i miss you,
Even if i can’t have you ,
You know i’ll always be there for you,

Mungkin aku mencintaimu walaupun engkau tak pernah tahu,
Mungkin aku mencintaimu tanpa lelah atau pun jemu,

Mungkin kita tak bersama di takdirkan,
Tak mengapa asal kau bahagia

Biar aku mencintaimu biar tiada siapa yang tahu,
Biar aku mencintaimu dalam diam ataupun bisu,

I’m sorry but i love you,
I’m sorry if imiss you,
Even if i can’t have you,
You know i’ll always be there for you.
I’m sorry but i love you

Najwa Latif – I Love You

Selama ia bernyanyi, matanya tak lepas dari dua sosok itu, Chandra dan Nia. Mereka melihatnya, melihat bandnya perform untuk terakhir kali. Ia merasa fokusnya mengabur karena air mata yang tergenang, tapi ia tak peduli. Yang ada dipikirannya hanya menyanyi dan terus menyanyi hingga bait terakhir dari lagu itu selesai dan terdengarlah tepuk tangan meriah dari mereka yang menonton perform bandnya. Termasuk Chandra dan Nia yang bersama – sama mengacungkan dua jempol mereka untuk bandnya.

***

Pesta kejutan kecil untuk Chandra berhasil. Tawa dari setiap kelas TIK itu membuat suasana taman belakang kampus sore itu menjadi lebih ramai dari biasanya. Wajah Chandra sudah dipenuhi krim kue, tapi tawa tetap terdengar dari mulutnya. Rina tak memedulikan tas ranselnya lagi, ia bahkan tak peduli kalau akhirnya nanti kaus berkerah itu tersimpan rapi di lemarinya atau malah dipakai oleh kakak laki – lakinya. Sekarang yang ia pikirkan hanyalah—

Happy birthday, Chan. Langgeng ya sama Nia. Ciee .. traktir double dong nih, hehe ...”

—merelakan Chandra, sosok yang membuat hidupnya berwarna untuk salah satu temannya, Nia.

“Thank’s ya. Iya, nanti gue traktir double asal lo juga mau traktir gue pakai hadiah uang hasil lomba itu, haha ..” Rina tertawa, Chandra juga, Nia dan teman – teman kelasnya juga.

Bahagia, biarkanlah rasa itu menyelimutinya saat ini. Biarlah luka itu ia yang rasakan sendiri. Toh cinta ‘kan perlu pengorbanan. Mungkin Allah juga sudah menyiapkan lelaki yang lebih baik untuknya ketimbang Chandra yang sekarang tengah merangkul mesra Nia.

Sakit? Tentu iya. Tapi ia akan lebih merasakan sakit kalau ia memaksakan hati Chandra untuknya.

Sekarang, biarlah ia merasakan yang namanya cinta diam – diam. Seiring waktu yang berlalu, mungkin saja rasa bernama cinta itu akan tertanam di hati yang lain.
                       
END


Artikel Terkait:

1 komentar: