CINTA
DIAM – DIAM
Suara petikan
gitar dan tabuhan drum terdengar di salah satu studio musik di kawasan Jakarta
Timur siang itu. Hari ini, Rina, Ardi, dan Tama melatih kemampuan mereka dalam
dunia musik untuk mengikuti sebuah lomba yang dinamakan Blue Fest di kampus mereka dalam memperingati acara tahunan
Fakultas Teknik.
Rina begitu
bersemangat latihan hari ini, suaranya mendadak terdengar merdu banget. Mungkin
karena salah satu teman lelaki yang –ehem- disukainya itu datang untuk ikutan
menyemangati Tik Band –nama grup band mereka- latihan.
Sudah dua lagu
yang ia lakukan dan lagu ketiga yang tengah dinyanyikannya akan menjadi penutup
latihan hari ini.
“Lombanya lusa,
besok kita ngga usah latihan. Pas hari H-nya aja kita latihan lagi tapi cuma latihan ringan. Gimana?” usul Ardi sang gitaris pada
dua temannya, Rina dan Tama.
“Gue setuju.
Lagipula, Rina mesti jaga suara juga. Jangan makan yang digoreng yak. Minum air
putih anget aja. Awas lu kalau ngelanggar terus kita kalah, lu traktir kita,
hehe ...” ancam Tama sambil terkekeh diakhir ucapannya.
“Haha ... iya
Tamagochi.”
Dan latihan hari
itu ditutup dengan lambaian tangan dari Rina karena bis yang biasa ia gunakan
untuk pulang telah datang setelah mereka selesai membayar biaya penyewaan
studio musik itu.
***
Rina menuruti peringatan Tama. Ia berhenti makan makanan
yang digoreng dan tidak minum
minuman yang bersuhu dingin.
Rina sekarang makan yang serba direbus dan dikukus ditambah minum air putih
anget. Terasa aneh dan menyebalkan memang, tapi demi kemenangan grup band
dadakannya, ia rela ngelakuinnya.
Ikhlas gue .. ikhlas ... hadiahnya
lumayan sih, hehe ....
Tapi, Tama ngga
ngelarang Rina buat jalan – jalan ‘kan? Ntah memang sudah takdirnya atau itu
hanya kebetulan, pengumuman pemenang lomba band itu akan diumumkan tepat tanggal
25 Januari. Hari dan tanggal yang sama dengan ulang tahun sang tambatan hati,
Chandra. So’ di hari Sabtu siang ini, dia ngintilin Mamanya ke Mall untuk
nemenin Mamanya belanja sambil sesekali matanya melirik barang – barang yang
dikiranya pantas untuk diberikan ke Chandra sebagai hadiah ulang tahun.
“Ma, kalau
ngasih hadiah ultah ke cowok tuh bagusnya ngasih apa ya?” Rina bertanya dengan
muka polos yang disengajain. Ntah untuk apa dia ngelakuin itu. Yuni, mamanya, cuma
bisa geleng – geleng kepala liat tampang polos anaknya. Mungkin Rina ngga mau
terlalu kentara mengutarakan tujuan kenapa dia nanya hal itu ke dirinya.
“Kasih aja
kemeja atau kaus berkerah. Emang yang ultah siapa? Temen kampus?”
“Iya, kita mau
ngasih dia kejutan gitu terus aku yang disuruh beli hadiahnya.” Rina masih
bertahan dengan wajah polosnya. Padahal sih, Yuni udah tau getaran suara
anaknya waktu cerita soal kejutan dan hadiah itu.
Dasar anak muda jaman sekarang, gumamnya.
“Mama tau dimana
toko yang jual kemeja dan kaus berkerah yang murah tapi berkualitas. Yuk ikut!”
Rina hanya ngangguk kecil sebagai jawaban. Kaki – kakinya terus melangkah
mengitari Mall
Thamrin City yang ngga bisa dibilang kecil itu.
Kira – kira lima
menit kemudian, Rina dan Mamanya udah sampai di depan sebuah toko yang menjual
khusus kemeja dan kaus berkerah buat cewek dan cowok seumurannya. Matanya berkilauan lihat pakaian –
pakaian murah tapi bagus itu.
“Udah pilih aja.
Mama tunggu di sini ya.” Rina ngangguk paham. Dia ngebiarin Mamanya ngobrol
sama mbak – mbak yang punya toko itu. Dirinya udah asyik milih beberapa kaus
berkerah dan kemeja yang sekiranya cocok untuk tubuh tegap Chandra.
“Ma, kerenan
yang mana, ya?” tanyanya sambil menunjukkan satu kemeja berwarna biru muda
dengan garis – garis vertikal
tipis warna biru dongker dan satu kaus berkerah dengan warna merah marun
ditambah motif kotak – kotak hitam putih di bagian kerah sampai ke dada.
“Yang merah
marun aja.” Rina memperhatikan pilihan Mamanya. Sedetik kemudian kaus berkerah
yang dipegangnya sudah dilipat rapi dan dimasukkan ke dalam kantung plastik
bertuliskan nama toko tersebut.
“Makasih ya
mbak.” Ucapnya riang setelah membayar dan menerima barang yang dibelinya.
“Udah sore nih,
pulang yuk.” Ajak Mamanya yang disetujui Rina.
***
Rina menyamankan
posisi mic-nya. Ini adalah hari
dimana ia, Ardi, dan Tama mengeluarkan segenap kemampuan terakhir mereka untuk
memukau para juri. Lombanya sih hari Minggu, tapi kampusnya ramai banget.
Awalnya Rina santai, tapi melihat hampir 80% mahasiswa fakultasnya berkumpul di
hadapannya itu membuat dia terpaksa merasakan yang namanya demam panggung.
Ditambah lagi, Nia, Dina, Nanda, Lestari, dan teman kelasnya yang lain
berteriak – teriak histeris menyerukan nama grup bandnya untuk memberinya
semangat.
“Oke, langsung
kita lihat aja perform dari peserta
urutan kelima dari jurusan TIK, Tiiikk Baannnddd...”
“Aaaa .. Rinaaa
..”
“Tiiikk
Baaannddd ....”
“Arddiiii ...
Tamaaaa .....”
Petikan gitar
Ardi mulai terdengar, disusul dengan tabuhan drum dari Tama. Rina memejamkan
matanya untuk memasuki melodi yang mulai mengalun indah itu. Ia ingin grup band
dadakannya ini menang. Hadiahnya lumayan sih, uang senilai 750 ribu plus sertifikat. Bukan sebuah
prestasi yang menunjukkan kemampuan otak banget sih. Soalnya ‘kan siapa pun
bisa mengikuti lomba kayak gini. Tapi, dia yakin akan perkataan Nanda kalau—
“—musik itu bisa
menyampaikan segala perasaan yang ada di hati ke tiap orang yang mendengarnya.”
So’ dia menyanyi
dengan penghayatan –yang menurutnya- bagus untuk lagu Cinta Dalam Hati-nya
Ungu.
ku
ingin kau tahu diriku di sini menanti dirimu
meski
ku tunggu hingga ujung waktuku
dan
berharap rasa ini kan abadi untuk selamanya
dan
izinkan aku memeluk dirimu kali ini saja
tuk
ucapkan selamat tinggal untuk selamanya
dan
biarkan rasa ini bahagia untuk sekejap saja
Sebaris bait
terakhir yang dinyanyikannya menutup perform
grup bandnya siang itu. Senyum dan beberapa kali bungkukan badan mengiringi
ucapan terima kasihnya pada semua mahasiswa yang menonton perform bandnya. Sekarang yang tinggal dilakukan dirinya dan dua
teman bandnya adalah berdoa dan berdoa. Tapi khusus Rina, dia harus menguatkan
mental lagi untuk pernyataan cintanya ke Chandra ... BESOK!
***
Senyum Rina
terkembang. Tas ranselnya nampak berisi dan itu membuatnya senang. Ia juga
sudah menyusun rapi rencana untuk pernyataan cintaya hari ini. Ya, semoga aja hasilnya memuaskan,
batinnya.
Matahari sudah
mulai bergerak semakin ke atas. Tapi, Rina, Ardi, Tama, Nanda, Sarah, Lestari, Dinda dan teman
kelasnya yang lain tetap kukuh berdiri menjemur diri mereka untuk mendengar
pengumuman pemenang lomba dari kategori Grup Band. Walau sudah ada beberapa
dari mereka yang ngga tahan sama panasnya matahari tapi ngga menyurutkan
semangat yang lainnya
untuk menunggu nama band mereka disebut sebagai juara.
Tapi, Rina
dengar dari Reta, salah satu teman sekelasnya yang jadi penanggung jawab lomba
Grup Band itu bilang kalau pengumumannya masih lama. Kepotong shalat dzuhur mungkin, katanya. Dan kebetulannya Rina ngga
ngeliat batang hidung Chandra dari tadi. Dia tau sih dia harus menghindari
pertemuan dengan cowok itu karena rencananya dia dan beberapa teman sekelasnya
mau ngasih kejutan ulang tahun ke Chandra. Tapi, kalau ngga sekarang, kapan
lagi bilang ‘i love you’ ke Chandra? Apalagi dia dengar akhir – akhir ini
Chandra tengah dekat sama cewek lain.
Kalau ditolak yaudahlah gak apa – apa.
Yang penting ‘kan udah jujur,
gumamnya kemudian pamit sama teman – temannya dengan alasan mau beli minum.
***
“Chan!” serunya
sambil berlari ke arah cowok dengan mata agak sipit di bangku panjang taman
belakang kampus. Setelah mengitari dan menanyakan beberapa temannya, Rina
akhirnya menemukan Chandra duduk manis dengan laptop kesayangannya di taman
belakang kampus
sendirian. Catat dan garis bawahi! SENDIRIAN!
“Hai! Ciee yang
lagi nungguin pengumuman lomba. Santai aja, lo pasti menang kok.” Rina Cuma
senyum lima jari sambil ngangguk kecil. Didudukkannya tubuhnya di tempat kosong
di sebelah Chandra.
Hening menjadi
atmosfer mereka. Chandra sibuk dengan game
yang tengah dimainkannya sedangkan Rina sibuk mengatur degupan jantungnya yang
berdetak keras secara mendadak.
Gila, gugup banget gue.
“Eng Chan gue—“
“Ya?” Chandra
masih sibuk main game tapi Rina tetap bertekad untuk bilang soal isi hatinya
detik itu juga.
“Gue mau ngomong
nih.” Rina mencengkram
bangku kayu yang didudukinya. Detakan jantungnya makin ngga terkontrol.
“Ehm gue juga.
Berita bahagia loh!” Rina mengerutkan alis gak ngerti, tapi ia berusaha menutupi
ketidakmengertiannya itu dengan ngangguk mempersilahkan Chandra duluan yang
cerita.
“Tapi sebelumnya
gue minta maaf ya kalau pas datang tadi pagi gue malah langsung cabut ke sini.
Ngga ikutan nunggu detik – detik pengumuman pemenang lombanya.” Rina tertegun. Dia
juga baru sadar kalau dari tadi pagi emang Chandra ngga ada diantara kumpulan
anak kelasnya. Dan satu hal yang dia baru sadar juga kalau—
“Gue sengaja
ngelakuin itu untuk bawa Nia ke sini dan—nembak dia.” Ucapnya lirih namun cukup
menusuk tepat di jantung Rina.
—Nia juga ngga
ada diantara kumpulan
anak kelasnya dari tadi pagi.
“Berita baiknya
Nia nerima gue dan ternyata dia juga udah suka sama gue sejak lama.” Rina masih
tertegun. Shock mungkin. Ntahlah,
kalau ditanya,
bagaimana perasaannya sekarang? Ia mungkin cuma bisa diam seribu bahasa.
“Rin, lo ngga
apa – apa ‘kan?”
“Berarti
gossipnya bener dong?” serunya tak sadar.
“Gossip apa?”
“Ah ngga. Maksud
gue—“
“RINAAAAA ..
KITA MENANG !! BAND KITA MENANG JUARA SATUUU ....” sontak Rina dan Chandra
menoleh. Cukup terkejut dengan kehadiran Ardi dan Tama yang berlari ke arah
mereka dan langsung menyeret Rina menjauh dari tempat itu.
“Kita menang
Rin! Juara satu! Ya Allah gue ngga nyangka. Padahal ini belum kepotong dzuhur
loh!” Ardi dan Tama mengoceh panjang lebar tapi Rina tetap menghadapkan
kepalanya ke belakang. Melihat Chandra yang tersenyum lima jari padanya. Tapi
kepalanya langsung dihadapkan ke depan ketika melihat Nia yang datang dari arah
lain dan duduk di sebelah Chandra.
Hasil dari rencananya ngga sesuai harapan ya?, gumamnya sedih dalam hati.
***
Prosesi
pemberian hadiah untuk pemenang berjalan cepat. Ntah Rina yang merasa itu
memang cepat atau apa, intinya sekarang dia sekarang kembali berdiri dengan mic di tangan kanannya untuk menyanyikan
sebuah lagu sebagai persembahan terakhirnya sebagai pemenang juara satu untuk
Lomba Band itu.
Matanya menyapu
kesegala arah. Memperhatikan satu – persatu wajah teman – temannya, para senior
dan beberapa dosen yang kebetulan hadir untuk melihat acara itu. Ia menghela
napas, menghilangkan segala kegusaran dihatinya. Atau mungkin mengusir rasa
sakit yang tak tampak oleh mata telanjang tiap orang yang menatap kagum padanya
saat ini. Sebenarnya ia ingin menangis meraung setelah mendengar pengakuan
Chandra beberapa menit lalu, tapi berita kemenangan grup bandnya membuatnya harus bersikap profesional.
Jadi, ia akan menyanyikan sebuah lagu untuk mereka yang bangga akan kemenangan
bandnya dengan seyum lima jarinya.
“Lagu ini ku
persembahkan untuk seseorang yang membuat hidup ku berwarna. Selamat
mendengarkan.”
Tabuhan drum
mulai terdengar, diikuti petikan gitar setelahnya. Rina mulai mencoba rileks
dan masuk ke dalam lagu yang ia bawakan.
Mungkin kita pernah rasa tentang
cinta,
Yang takdirnya bukan untuk kita
Mungkin ini adalah cara meluah cinta,
Tanpa berkata atau berpandang mata,
I’m sorry but i love you,
I’m sorry if i miss you,
Even if i can’t have you ,
You know i’ll always be there for you,
Mungkin aku mencintaimu walaupun engkau tak pernah tahu,
Mungkin aku mencintaimu tanpa lelah atau pun jemu,
Mungkin kita tak bersama di takdirkan,
Tak mengapa asal kau bahagia
Biar aku mencintaimu biar tiada siapa yang tahu,
Biar aku mencintaimu dalam diam ataupun bisu,
I’m sorry but i love you,
I’m sorry if imiss you,
Even if i can’t have you,
You know i’ll always be there for you.
I’m sorry but i love you
Yang takdirnya bukan untuk kita
Mungkin ini adalah cara meluah cinta,
Tanpa berkata atau berpandang mata,
I’m sorry but i love you,
I’m sorry if i miss you,
Even if i can’t have you ,
You know i’ll always be there for you,
Mungkin aku mencintaimu walaupun engkau tak pernah tahu,
Mungkin aku mencintaimu tanpa lelah atau pun jemu,
Mungkin kita tak bersama di takdirkan,
Tak mengapa asal kau bahagia
Biar aku mencintaimu biar tiada siapa yang tahu,
Biar aku mencintaimu dalam diam ataupun bisu,
I’m sorry but i love you,
I’m sorry if imiss you,
Even if i can’t have you,
You know i’ll always be there for you.
I’m sorry but i love you
Najwa
Latif – I Love You
Selama ia
bernyanyi, matanya tak lepas dari dua sosok itu, Chandra dan Nia. Mereka
melihatnya, melihat bandnya perform
untuk terakhir kali. Ia merasa fokusnya mengabur karena air mata yang
tergenang, tapi ia tak peduli. Yang ada dipikirannya hanya menyanyi dan terus
menyanyi hingga bait terakhir dari lagu itu selesai dan terdengarlah tepuk
tangan meriah dari mereka yang menonton perform
bandnya. Termasuk Chandra dan Nia yang bersama – sama mengacungkan dua jempol
mereka untuk bandnya.
***
Pesta kejutan
kecil untuk Chandra berhasil. Tawa dari setiap kelas TIK itu membuat suasana
taman belakang kampus sore itu menjadi lebih ramai dari biasanya. Wajah Chandra
sudah dipenuhi krim kue, tapi tawa tetap terdengar dari mulutnya. Rina tak
memedulikan tas ranselnya lagi, ia bahkan tak peduli kalau akhirnya nanti kaus
berkerah itu tersimpan rapi di lemarinya atau malah dipakai oleh kakak laki –
lakinya. Sekarang yang ia pikirkan hanyalah—
“Happy birthday, Chan. Langgeng ya sama
Nia. Ciee .. traktir double dong nih,
hehe ...”
—merelakan
Chandra, sosok yang membuat hidupnya berwarna untuk salah satu temannya, Nia.
“Thank’s ya.
Iya, nanti gue traktir double asal lo
juga mau traktir gue pakai hadiah uang hasil lomba itu, haha ..” Rina tertawa,
Chandra juga, Nia dan teman – teman kelasnya juga.
Bahagia,
biarkanlah rasa itu menyelimutinya saat ini. Biarlah luka itu ia yang rasakan
sendiri. Toh cinta ‘kan perlu pengorbanan. Mungkin Allah juga sudah menyiapkan
lelaki yang lebih baik untuknya ketimbang Chandra yang sekarang tengah
merangkul mesra Nia.
Sakit? Tentu
iya. Tapi ia akan lebih merasakan sakit kalau ia memaksakan hati Chandra
untuknya.
Sekarang,
biarlah ia merasakan yang namanya cinta diam – diam. Seiring waktu yang
berlalu, mungkin saja rasa bernama cinta itu akan tertanam di hati yang lain.
END
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus