Sabtu, 23 Februari 2013

Seni Menyuarakan Sajak


Memang para seniman tak jarang tampak hanya mau aneh, mau baru, mau kontroversional dengan ego yang menggembung mirip punuk planetarium. Tapi yang aneh-aneh itu hanyalah satu babakan dari satu proses yang menghasilkan hal-hal menakjubkan.
Puisi bukanlah kata-kata elok, bukan rumusan-rumusan petuah dan kearifan. Puisi adalah persentuhan, antara kita dan dunia luar, petuah dan kegaiban yang besar, antara kita dan kita, yang dalam kata-kata penyair “Sederhana seperti nyanyi”.
Deklamasi?
            Deklamasi adalah kerja mewartakan sajak dengan lisan baik dari sajak sendiri atau sajak orang lain. Deklamasi ini adalah merupakan bentuk kesenian yang baru timbul di Indonesia dan mula-mula timbul di kalangan anak-anak muda dari umur belasan tahun serta dengan luas tersiar di kalangan mereka seperti kalangan mahasiswa.
            Di Eropa dan Amerika kesenian ini dikenal dengan nama “Reading”, namun kesenian ini di kalangan pemuda-pemuda kita sekarang menjadi semacam kesenian yang aneh. Saya akan melukiskannya sebagai berikut: Seseorang yang menghapal sebuah sajak, lalu mencoba memaparkan sajak itu kembali kepada orang banyak dengan gerakan-gerakan semacam orang memainkan sebuah adegan yang dramatik dari sebuah sandiwara: yaitu dengan membuat gerakan-gerakan yang lebih dari wajar serta berusaha dengan bunyi yang jauh daripada normal, sambil di sana-sini ia selalu berusaha member tekanan pada setiap kata-asal-kata dan beranggapan bahwa segala-galanya dalam sajak itu perlu ditonjolkan. Akibatnya kita malahan tidak bisa lagi mengenal sajak yang dimaksud itu, yang kita lihat hanya seseorang yang berlaku aneh tanpa arti apa-apa.
            Penyair dalam menulis sajak bersenjatakan kata-kata. Dari kata-kata ia menyusun pengertian yang puitis. Dari kata-kata ia membuat irama. Dari kata-kata ia lukiskan suasana yang puitis. Dari kata-kata ia menciptakan perbandingan-perbandingan. Bahwa irama serta lagu  mempunyai arti yang sangat penting di dalam sajak. Irama serta lagu yang akan bisa ditangkap telinga orang itulah nanti yang akan membedakan apakah seseorang sedang membaca sajak ataukah sedang membaca sebuah prosa. Jadi sangat tidak tepat apabila dalam berdeklamasi seseorang terlalu banyak mengerjakan gerak dan mimik, sehingga kadang-kadang melupakan kelancaran irama sajak. Bahkan sering terjadi mereka mengadakan perhentian-perhentian yang tentu saja mematahkan irama sajak secara tidak tepat hanya untuk menciptakan suasana dramatis yang berlebih-lebihan dengan mimik dan gerak.
            Maka dari itu deklamator tak boleh melupakan fungsi kata-kata. Kata-kata harus diucapkan dengan jelas dan tepat, tekanan yang tepat serta intonasi yang tepat pula. Gerak dan mimik hanya penambahan belaka.


Artikel Terkait:

2 komentar: