Senin, 31 Desember 2012

Petani


Berbicara tentang petani, ada beberapa pertanyaan yang ingin penulis ajukan kepada pembaca sekalian. Jika anda harus membayangkan tentang petani, apa yang terbayang pertama kali? Cangkul? Caping? Pakaian yang lusuh? Benarkah demikian? Mungkin. Lalu, jika penulis tanyakan, sebagai mahasiswa pertanian (khususnya), ketika lulus, apakah anda akan menekuni profesi sebagai petani? Anda akan terjun langsung di lapangan, atau lebih nyaman bermain di balik layar? Satu pertanyaan lagi, jika orang tua anda adalah petani, apakah mereka mengharapkan agar anda menjadi petani pula, atau mereka justru berharap sebaliknya, berharap semoga anaknya mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, tidak seperti orang tuanya yang hanya menjadi petani?

Mungkin terdengar retorikal, namun mengapa penulis mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut? Tidak lain, karena penulis ingin mengetahui, apa yang keliru dari sudut pandang kita dalam menilai petani. Mengapa banyak dari kita masih memandang profesi petani dengan sebelah mata. Tidak semua memang, namun mungkin sebagian besar seperti itu.

Terdapat satu hal yang perlu diluruskan, bahwa identifikasi petani yang terpatri dalam masyarakat kita selama ini sebenarnya lebih mengacu pada buruh tani. Dr. Mansour Fakih dalam kata pengantarnya pada buku “Pertanian Masa Depan” menyebutkan bahwa sejak sistem mode produksi kapitalisme diperkenalkan di dunia pertanian, hubungan feodal berubah menjadi hubungan buruh majikan, dan lahirlah para buruh tani yang jumlahnya besar sekali. Para buruh tani sesungguhnya bukan lagi menjadi petani, tetapi mereka menjadi buruh sejati dalam sektor industri pertanian skala kecil.

Lalu, seperti apakah yang disebut sebagai petani sejati? Petani sejati adalah petani yang mengalami proses kehidupan yang manusiawi, yang dapat memperjuangkan hak-haknya untuk memiliki keragaman hayati, melestarikan, memuliakan, mengembangkan, saling menukar dan menjual benih, serta hak untuk memperoleh makanan yang aman dan menyehatkan. Bukankah tidak manusiawi jika petani yang berkontribusi dalam menjaga ketahanan pangan bangsa, justru mereka sendiri masih kelaparan dan sulit memenuhi kebutuhannya. Mereka juga memiliki hak untuk memperoleh keadilan harga , memperoleh informasi yang benar, dan yang paling mendesak untuk diperjuangkan adalah hak atas tanah, hak untuk memperoleh kembali benih-benih padi yang kini tersimpan pada bank-bank benih internasional.

Lalu, bolehkah penulis berasumsi bahwa menjadi petani (buruh tani) bagi sebagian masyarakat kita adalah sebuah pilihan terakhir? Jika, anak petani saja tidak ingin menjadi petani, atau sebaliknya, orang tua yang berprofesi sebagai petani tidak menginginkan anaknya menjadi petani, lalu siapa yang akan menjadi petani? Petani sejati, bukan buruh. Mungkinkah kita? Kaum intelektual muda, yang paham akan teori, yang mahir dalam bernegosiasi, dan handal dalam beraplikasi.

Setiap tahun, ratusan sarjana muda dilahirkan dari institusi ini. Komposisinya cukup lengkap untuk melakukan sebuah pembangunan pertanian di negeri ini. Pertanyaannya, apakah mereka tetap akan memperjuangkan suara-suara rakyat, sama seperti ketika mereka masih menjadi mahasiswa dulu? Dengan lantang menyuarakan “HIDUP PERTANIAN! HIDUP RAKYAT INDONESIA!”. Ataukah seruan-seruan tersebut mulai meredup, sama redupnya dengan nasib para petani.

Mari kita simak bersama pesan Bung Karno yang penulis kutip dari buku “Petani Menggugat” karya Dr. Ir. Agus Pakpahan:

“Mengertikah engkau, bahwa kita sekarang ini menghadapi satu bayangan hari kemudian yang amat mengerikan, bahkan satu todongan pistol “mau hidup ataukah mau mati”, satu tekanan tugas “to be or not to be”? Di dalam tahun 1960 nanti tekort kita sudah akan 6,3 juta ton, berapa juta ton nanti dalam tahun 1980 kalau penduduk kita lebih dari 100 juta? Engkau pemuda-pemudi, engkau terutama sekali harus menjawab pertanyaan itu, sebab hari kemudian adalah harimu, alam kemudian adalah alammu, bukan alam kami kaum tua yang akan dipanggil pulang ke rahmatullah…”

*** 


Artikel Terkait:

4 komentar:

  1. Tampaknya para pemerhati pertanian harus lebih giat mengenalkannya ke masyarakat.

    Terus menulis tentang pertanian merupakan salah satu langkah nyata yang insyaAllah akan bermanfaat bagi masyarakat.

    Bahkan seorang tetangga di kampung ada yang rajin bertanya tentang majalah Trubus. Sayang waktu itu, saya kurang kenal dengan majalah tersebut di mana bisa diperoleh.

    Pas jalan2 ke IPB, ternyata banyak juga ya...!

    BalasHapus
  2. padahal melalui tangan tangan petani.. ALLAH mengaruniakan tumbuhnya padi beras,jagung dll
    bertani membutuhkan keahlian khusus dilapangan bukan sekedar teori yang diomongkan
    jika dalam suatu pekerjaan ada yang namanya pencetus ide,teori..namun dia tidak berjalan tanpa adanya tekhnisi, tenaga ahli dilapangan yang mereka kudu saling bekerja sama dlm satu team yang solid agar tercapai satu tujuan yang baik dengan hasil yang maksimal
    sama halnya petani dan juga sarjana pertanian. sarjana pertanian tempatnya bukan sekedar dikantor mewah tapii turun dan bekerja sama dengan petani dilapangan.
    sarjana pertanian seharusnya lebih ahli dari para petani biasa.

    BalasHapus
  3. Terima kasih atas comment nya.. Saya adalah mahasiswa IPB, meskipun bukan berasal dari fakultas pertanian.. Namun, saya berpikir bahwa sudah menjadi kewajiban saya sebagai orang yang sedikit tahu tentang pertanian, untuk mengungkapkan sebuah keresahan ini.. Alangkah lebih baiknya jika keresahan ini tidak hanya berujung pada sebuah tulisan, saya ingin sekali mengembangkan pertanian mulai skala kecil... Saya rasa Indonesia memerlukan lebih banyak lagi kaum intelektual yang benar-benar terjun langsung membangun pertanian.. Agar negara yang diiberi julukan "agraris" ini kembali bangkit, tidak lagi bergantung pada komoditas-komoditas impor..

    BalasHapus
  4. iya mbak.. benar. seharusnya kita tidak bergantung kepada komoditas impor. wong alam kita kaya raya.
    sayang sekali jika tidak dimanfaatkan dengan baik

    BalasHapus