Memang
para seniman tak jarang tampak hanya mau aneh, mau baru, mau kontroversional
dengan ego yang menggembung mirip punuk planetarium. Tapi yang aneh-aneh itu
hanyalah satu babakan dari satu proses yang menghasilkan hal-hal menakjubkan.
Puisi
bukanlah kata-kata elok, bukan rumusan-rumusan petuah dan kearifan. Puisi
adalah persentuhan, antara kita dan dunia luar, petuah dan kegaiban yang besar,
antara kita dan kita, yang dalam kata-kata penyair “Sederhana seperti
nyanyi”.
Deklamasi?
Deklamasi adalah kerja mewartakan
sajak dengan lisan baik dari sajak sendiri atau sajak orang lain. Deklamasi ini
adalah merupakan bentuk kesenian yang baru timbul di Indonesia dan mula-mula
timbul di kalangan anak-anak muda dari umur belasan tahun serta dengan luas
tersiar di kalangan mereka seperti kalangan mahasiswa.
Di Eropa dan Amerika kesenian ini
dikenal dengan nama “Reading”, namun kesenian ini di kalangan
pemuda-pemuda kita sekarang menjadi semacam kesenian yang aneh. Saya akan
melukiskannya sebagai berikut: Seseorang yang menghapal sebuah sajak,
lalu mencoba memaparkan sajak itu kembali kepada orang banyak dengan
gerakan-gerakan semacam orang memainkan sebuah adegan yang dramatik dari sebuah
sandiwara: yaitu dengan membuat gerakan-gerakan yang lebih dari wajar serta
berusaha dengan bunyi yang jauh daripada normal, sambil di sana-sini ia selalu
berusaha member tekanan pada setiap kata-asal-kata dan beranggapan bahwa
segala-galanya dalam sajak itu perlu ditonjolkan. Akibatnya kita
malahan tidak bisa lagi mengenal sajak yang dimaksud itu, yang kita lihat hanya
seseorang yang berlaku aneh tanpa arti apa-apa.
Penyair dalam menulis sajak
bersenjatakan kata-kata. Dari kata-kata ia menyusun pengertian yang puitis.
Dari kata-kata ia membuat irama. Dari kata-kata ia lukiskan suasana yang
puitis. Dari kata-kata ia menciptakan perbandingan-perbandingan. Bahwa
irama serta lagu mempunyai arti yang
sangat penting di dalam sajak. Irama serta lagu yang akan bisa ditangkap
telinga orang itulah nanti yang akan membedakan apakah seseorang sedang membaca
sajak ataukah sedang membaca sebuah prosa. Jadi sangat tidak tepat apabila
dalam berdeklamasi seseorang terlalu banyak mengerjakan gerak dan mimik,
sehingga kadang-kadang melupakan kelancaran irama sajak. Bahkan sering terjadi
mereka mengadakan perhentian-perhentian yang tentu saja mematahkan irama sajak
secara tidak tepat hanya untuk menciptakan suasana dramatis yang
berlebih-lebihan dengan mimik dan gerak.
Maka dari itu deklamator tak boleh
melupakan fungsi kata-kata. Kata-kata harus diucapkan dengan jelas dan tepat,
tekanan yang tepat serta intonasi yang tepat pula. Gerak dan mimik hanya
penambahan belaka.
Ilmunya sangat bermanfaat mas buat saya.
BalasHapusTerimakasih
iya sama-sama :)
BalasHapus