"Kejujuran adalah kebijaksanaan yang terbaik"
-Anonim-
Pendidikan,
sejatinya adalah sebuah fase untuk menjalani dan memaknai kehidupan ini
sebagai manusia pembelajar sepanjang hayat. Pada hakikatnya, kita tidak
pernah purna untuk menamatkan ”sekolah” kehidupan ini. Saat ujian datang bertubi-tubi, itulah batu loncatan yang mampu mengantarkan kita untuk meningkatkan kapasitas diri.
Meski tidak terlalu representatif, mari kita cermati proses pendidikan
di perguruan tinggi beserta momentum ujiannya sebagai sample.
Merupakan suatu hal yang mutlak dalam menjalani proses pendidikan di
negeri ini, bahwa ujian merupakan salah satu standar penentu
keberhasilan tingkat pembelajaran. Saat-saat menjelang ujian, adalah
saat yang kritis. Mahasiswa mulai disibukkan mencari bahan-bahan kuliah,
mengurangi aktifitasnya di organisasi, berjuang keras menghafal materi
beberapa mata kuliah dalam waktu yang singkat.
Salah satu goal
yang memotivasi semangat belajar mahasiswa menjelang ujian, tidak lain
adalah nilai yang memuaskan. Betapa bangganya jika huruf A, maupun IPK
dengan angka 4 mampu tertoreh dalam sejarah pencapaian prestasi kita
selama belajar di kampus. Namun, ketika yang menjadi motivasi adalah hal
negatif seperti ketakutan, maka semuanya akan menjadi hal yang berbeda.
Ketakutan mendapat nilai jelek, ketakutan mengecewakan orang tua,
ketakutan akan sulit mendapat pekerjaan karena transkrip nilai yang
tidak mencapai standar, akan melahirkan berbagai macam tindak
kecurangan. Merupakan sebuah pertanyaan yang retorikal jika ada yang
menanyakan apakah tindakan tersebut dapat dimaafkan atau tidak.
Masing-masing dari kita telah memahami dan mengetahui apa
konsekuensinya. Namun, mari kita merenung sejenak. Saat mahasiswa
menuntut para koruptor, para pelaku illegal loging yang mengambil
hak milik orang lain, lalu bagaimana dengan kita sendiri?. Tidakkah
melakukan kecurangan dalam ujian tidak ubahnya sama seperti oknum-oknum
tersebut?. Mungkin kita berdalih, merasa bahwa tidak ada hak orang lain
yang kita ambil. Benarkah?. Jika ada suatu kasus, seorang mahasiswa
jujur dari keluarga tidak mampu dengan nilai yang pas-pasan, harus rela
tidak mendapat beasiswa karena nilainya lebih kecil dibandingkan
mahasiswa lain yang tidak jujur saat ujian. Bayangkan, betapa beratnya
tanggung jawab yang akan kita pikul kelak.
Dalam hadis riwayat Ath-Thabrani, ”Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga”. Tidakkah
kita ingin meraih itu?. Dalam setiap langkah yang kita pijakkan dalam
menuntut ilmu, ingatlah kembali, bagaimana keikhlasan orang tua saat
melepas kita, saudara-saudara yang senantiasa mendo’akan kita, tentu
kita tidak ingin mengecewakan mereka. Dunia tidak akan runtuh jika kita
mendapat nilai yang jelek. Satu yang perlu kita lakukan adalah,
melakukan evaluasi diri. Tidak masalah menerima kekurangan yang ada
dalam diri, jika ada tekad yang kuat untuk memperbaikinya, maka tidak
hal yang tidak mungkin.
Kejujuran
adalah sebuah hal yang tidak ternilai harganya. Sungguh tidak sebanding
jika kita menggadaikannya hanya demi melihat huruf A terpampang dalam
transkrip nilai yang sangat subjektif. Perlu diingat pula bahwa kita
tidak hanya akan mendapat transkrip nilai di dunia, namun juga di
akhirat. Allah memerintahkan dalam Al-Qur’an surah At Taubah ayat 119, ”Wahai orang-orang beriman. Bertakwalah kamu kepada Allah dan jadilah kamu (hidup) bersama orang-orang yang jujur”.
Wallahu
a’lam. Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu menjunjung tinggi
nilai-nilai kejujuran. Kejujuran yang hakiki, dan tidak pernah
tergoyahkan oleh nilai-nilai semu duniawi.
Subhanallah. Artikel ini akan menjadi motivasi untuk tetap berbuat jujur, walaupun kadang-kadang terasa pahit karena kejujuran yang saya lakukan terlupakan dari nilai keikhlasannya.
BalasHapusSaya harus belajar teruuuus.
Terimakasih sahabatku....
Sama-sama... Kejujuran memang sesuatu yang mahal... Tulisan ini sudah lama saya buat,, semoga dapat menjadi refleksi diri..
BalasHapus